Senin, 13 Juni 2016

Nikmatnya Servisan Sekretaris Semok

Nikmatnya Servisan Sekretaris Semok

 Agen Poker Online Terpercaya

Cerita Sex Pengalaman Pribadi - Pada hari yang sama ketika Bram bertemu Mira, Sovi diminta Mang Enjup datang ke kantor untuk membicarakan rencana negosiasi proyek dengan Walikota. Sovi pergi sendirian dan langsung menuju kantor Mang Enjup. Febby sekretaris Mang Enjup yang biasanya duduk di satu meja di luar kantor tidak ada.
“Non Sovi sudah ditunggu,” terdengar kata-kata seorang laki-laki.
Agen Poker Online - Di luar kantor Mang Enjup juga ada Danang yang, seperti biasa, tidak jelas apa kerjaannya di sana. Dialah yang memberitahu bahwa Sovi sudah ditunggu. Melihat Sovi datang, Danang nyengir dan tersenyum mesum ke arah Sovi. Yang membuat Danang rada kaget, Sovi membalas dengan senyum dan kerling genit. Danang memperhatikan penampilan Sovi yang tampak menarik dalam kemeja lengan panjang abu-abu dan rok pendek hitam. Kemejanya ketat. Danang berani sumpah, dia yakin Sovi tak sedang memakai bra karena dia melihat puting Sovi mencuat di balik bahan kaos itu…
“Aku masuk ya…” kata Sovi sambil menoleh ke Danang dan melangkah menuju pintu.
Danang lantas merasakan semua darah ke tubuhnya mengalir menuju bawah perut. Tak tahan dia dengan keseksian Sovi yang menggodanya.
“Permisi…” Sovi mengucap salam ketika masuk. Begitu dia masuk, dia melihat pemandangan tak biasa.
Ada dua perempuan yang sedang berada di kanan kiri Mang Enjup. Mang Enjup sendiri berada dalam keadaan berantakan, kemejanya terbuka sehingga dadanya yang sudah keriput terlihat, mulutnya terengah-engah, keringat menitik di wajahnya. Sovi mengenali salah seorang dari dua perempuan itu sebagai Febby, sekretaris Mang Enjup, seorang perempuan berkacamata, berhidung mancung, berambut megar sebahu. Tapi Febby bukan sedang mengenakan pakaian kantor seperti biasa, melainkan tank top ketat berbelahan rendah dan rok mini. Make-upnya juga lebih tebal dari biasa.
“Selamat pagi, Mbak Sovi,” sapa Febby.
Perempuan satunya lagi Sovi tidak kenal. Dan dia jelas sedang tidak memakai pakaian orang kantoran. Nyaris tidak berpakaian, malah. Cuma celana dalam berenda dan bra pink. Perempuan itu nyengir konyol ketika melihat ada yang datang, dan dia terlihat membungkuk di samping Mang Enjup, tangannya seperti memegang sesuatu di pangkuan Mang Enjup. Rambutnya dicat merah, gairahsex.com ukuran dadanya tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang ramping. Riasan menor menutupi wajahnya yang terlihat lebih tua daripada Sovi dan Febby.  bibir merah, bulu mata palsu, alis ditato.
“Ka dieu, Neng,” panggil Mang Enjup dengan suara lirih, seperti orang kecapekan.
Sebenarnya adegan yang sedang berlangsung di sana sangat tidak wajar, karena sedang ada dua perempuan berpakaian seksi merubung Mang Enjup. Sovi sendiri heran dan dia melangkah maju pelan-pelan, tapi begitu tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata Mang Enjup yang tetap tajam, dia merasa tidak perlu ke mana-mana.
Ketika makin dekat, Sovi jadi bisa melihat apa yang sedang dilakukan Febby dan si rambut merah. Celana Mang Enjup terbuka, kemaluannya tegak, dan kedua perempuan itu sedang membelai-belainya. Tapi si rambut merah sesekali menjepit bagian pangkal batang dan menekan daerah di bawah buah pelir Mang Enjup. Rupanya itu semacam cara untuk mencegah ejakulasi. Agaknya Mang Enjup sedang menjalani “terapi” untuk mengatasi masalah ejakulasi dini-nya. Sovi terpaku, tak tahu mesti berbuat apa. Dia memang dipanggil oleh Mang Enjup, tapi apa maunya Mang Enjup? Febby berdiri dan membuka satu laptop yang ada di meja, lalu duduk di atas meja sambil menyilangkan kaki.
“Duduk, Mbak Sovi,” kata Febby sambil menunjuk kursi di depan meja Mang Enjup.
Mang Enjup terengah-engah, sepertinya keenakan penisnya dikocok, kadang meringis karena ejakulasinya dibatalkan pencetan jari si rambut merah. Sovi duduk dan pandangannya mengikuti tangan Febby yang menunjuk layar laptop. Di situ ditayangkan beberapa tabel dan presentasi terkait proyek yang sedang diperebutkan perusahaan mereka dengan perusahaan-perusahaan milik dua orang yang Sovi temui di pesta Walikota.
Febby menjelaskan situasi terbaru dan rincian tender proyek kepada Sovi. Wajah Sovi berkerut selagi mengikuti penjelasan Febby, tanpa menghiraukan Mang Enjup yang asyik sendiri. Febby selesai memberi penjelasan dan Sovi merasa cukup mengerti tentang semua hitungan dan rencana yang dijabarkannya. Mang Enjup ikut bicara,
“Tapi, ada yang lebih penting lagi, Sovi.” Mang Enjup lalu menyentuh lengan si rambut merah.
“Layla…” kata Mang Enjup, menyebut nama si rambut merah.
“Kenalan dulu, Mbak Sovi… saya Layla,” katanya. Layla langsung mendekati Sovi, lalu meminta Sovi berdiri.
Layla mengamati sekujur tubuh Sovi, berjalan mengelilingi Sovi sambil pandangannya naik turun.
“Mantap…” kata Layla sambil tiba-tiba meremas pantat Sovi.
“Aih!!?” Sovi kaget.
“Bahenol juga ya… pantesan cuma kamu yang dimau’in,” kata Layla. Sovi tidak mengerti maksudnya.
“Biasanya saya yang ditugasin untuk bantu lobby pejabat,” kata Layla lagi,
“atau anak buah saya. Tapi buat yang satu ini emang susah dari dulu. Dia pilih-pilih banget. Kalau sembarang orang, pasti ditolak. Tapi kalau Mbak Sovi pasti bisa deh.”
“Ah… Maksudnya?”
“Pak Walikota maunya si Neng,” kata Mang Enjup.
“Biasanya Mamang minta bantuan Layla atau teman-temannya, tapi ternyata ga ada yang cocok ama Pak Walikota. Emang dia seleranya lain, ga mau sama yang biasa, maunya sama yang luar biasa kayak Neng Sovi.”
“Tapi… kenapa harus saya? Kan mestinya sama aja…” tanya Sovi.
Layla tertawa. Febby menahan ketawa. Mang Enjup bicara.
“Sovi, dengerin Mamang yah. Sovi sudah lihat yang ditunjukin Febby tadi kan. Kamu tahu seberapa bernilai proyek itu buat perusahaan kita ini? Gede banget, dan semua berharap kita bakal dapat. Barangkali kamu belum tahu, untuk proyek-proyek sebesar itu biasanya kita sebagai pengusaha mesti ngejalin hubungan baik sama orang-orang yang pegang kuasa pejabat dan semacamnya itu lah. Selama ini kerja Mang di perusahaan ini ya seperti itu. Nah, buat proyek ini, kita perlu persetujuan dari Pak Walikota. Makanya kita perlu Neng Sovi. Soalnya, Pak Walikota sudah sering ngasih petunjuk, salah satu yang paling dia harapin itu adalah bisa ada hubungan baik dengan Neng Sovi.”
Sesudah mendengar penjelasan Mang Enjup yang dibungkus-bungkus itu Sovi masih tetap belum mengerti. Ganti Layla yang bicara.
“Biasanya, Mbak Sovi, saya ngurus bagian entertain dalam lobi proyek,” kata Layla.
“Yah kita udah tahu lah, pejabat pasti minta bagian. Bisa uang, fasilitas, hadiah. Udah biasa juga kalau kita nyediain hiburan juga. Pejabat itu kebanyakan laki-laki kan. Nah yang namanya laki-laki pastinya suka yang cantik-cantik, jadi saya yang biasa nyediain. Cuma… Pak Walikota ini agak susah. Dari dulu emang gitu dia. Bukannya dia sok alim atau ga suka yang cantik-cantik sih. Tapi emang seleranya maunya yang susah. Saya udah coba nyodorin yang tua, yang muda, yang masih perawan, tapi semuanya ditolak sama dia. Pusing kan kita mikirnya.”
“Nah,” sambung Mang Enjup,
“Sebelum pesta kemarin itu Mang kan sering ketemu Pak Walikota buat ngomongin ini proyek. Pak Walikota kalau ketemu Mamang seriiing banget nanyain, mana Neng Sovi, kok nggak dibawa. Mang tahu sih Pak Walikota udah perhatiin kamu dari dulu. Mang juga udah jelasin status kamu. Tapi kelihatannya sih Pak Walikota maunya cuma sama kamu.”
Tahu-tahu, Layla sudah merangkul dan menggerayangi Sovi.
“Mbak Sovi cakep banget deh,” ujar Layla sambil satu tangannya meremas pantat Sovi lagi.
“Pantes aja Pak Walikota cuma maunya sama Mbak Sovi. Cakep, anggun lagi. Bener-bener high class. Saya aja jadi minder ngelihat Mbak.”
Andai pikiran Sovi masih normal, mungkin dia akan berusaha mengelak begitu tahu arah kata-kata Mang Enjup. Tapi tidak… Sovi yang sekarang bukan lagi Sovi yang polos, malu-malu, dan konservatif.
Sejak Citra mengubah penampilannya, Mang Enjup dan Dr Lorencia mengacak-acak pandangannya, dan berbagai pengalaman berpetualang dilaluinya, kepribadian Sovi berubah. Dia tak lagi merasa perlu membatasi dirinya dengan hanya menyerahkan tubuhnya kepada suaminya yang sah. Dia sudah tahu bahwa kenikmatan badan bisa didapat dari mana saja, dan buat dia itu tak salah. Dia tetap seorang istri, tapi dia tak ubahnya seorang pelacur juga.
Dia tak lagi sungkan berhubungan seks dengan semua orang. Layla yang berposisi di belakang Sovi kini menyandarkan mukanya ke bahu Sovi, menghirup wangi rambut Sovi dan meremas payudara Sovi. Sovi mendesah sebagai reaksi gerakan Layla itu. Febby tetap duduk di atas meja, sementara Mang Enjup juga tetap duduk di kursinya tanpa merapikan pakaiannya.
“Makanya… Tolong yah, Neng?” pinta Mang Enjup.
Sovi tak bisa konsentrasi karena digerayangi terus oleh Layla. Mang Enjup menyambung,
“Peran seperti ini cuma Neng yang bisa.”
Sovi berpikir sebentar, wajahnya berkerut, tapi dengan cepat dia mencapai kesimpulan.Gairah sex
“Iya, Mang. Sovi siap.”
Mang Enjup tersenyum lebar. Layla bertepuk tangan.
Sovi tersenyum nakal.
“Omong-omong, Mang lagi ngapain sih, kok telanjang?” tanyanya.
Mang Enjup tertawa mendengar Sovi bicara seperti itu, tak sungkan dan tak malu-malu.
“Ini Mang lagi terapi, hehehe,” kata Mang Enjup.
“Dibantuin Layla…”
“Terapi kejantanan, …hihihi,” Layla menimpali.
“Mbak Sovi mau ikutan  gabung?”
“Boleh juga,” tanpa diduga Sovi setuju,
“Hitung-hitung latihan… Ih si Mamang udah tegang gitu…”
Agen Judi Online - Sovi mendekat ke arah Mang Enjup. Melihat itu, Febby dan Layla juga bergerak, sehingga Mang Enjup kini dikelilingi tiga perempuan cantik. Seperti raja dengan selir-selirnya saja.Tidak seperti sebelumnya, kali ini Sovi dengan sadar siap menyerahkan diri dan menggoda Mang Enjup, laki-laki tua pembantu orangtuanya yang sudah dikenalnya dengan baik sejak kecil itu. Sebenarnya sejak ditinggal Bram, Sovi agak frustrasi karena kebutuhan seksnya tidak ada yang melayani. Makanya ketika dia digarap Dr Loren dan Danang-Reja beberapa hari lalu, sebenarnya dia melayani dengan suka rela, asalkan bisa mengecap kenikmatan.
“Coba kita lihat hasil terapi tadi…” kata Layla, lalu tiba-tiba dia mendekati Sovi dan kembali menggerayangi.
Febby terpikir untuk meramaikan suasana, jadi dia menuju laptopnya dan mulai memutar musik dance. Dia kemudian mendekati Sovi dan Layla sambil bergoyang ikut irama. Layla juga ikut-ikutan, sambil menggerak-gerakkan tubuh Sovi, mengajak Sovi ikut dance. Sovi terbawa juga, mulai meliuk-liukkan tubuhnya yang indah.
Mang Enjup jadi ngiler melihat tiga perempuan cantik bergoyang aduhai di depannya. Febby dan Layla bergerak luwes seperti sudah biasa ajojing. Layla apalagi, dia yang sejatinya bekerja jadi agen cewek panggilan dan penari tanggal baju setelah sebelumnya malang melintang di dua profesi itu, sudah kenyang pengalaman memikat hati dan tubuh laki-laki lewat goyang tubuhnya. Sovi saja yang agak kaku.
“Mbak Sovi yang cantik… Kita buka yah?” Layla bergoyang sambul memeluk Sovi dari belakang, dan mengatakan itu sambil meraba tubuh Sovi.
Layla melepas satu-satu kancing kemeja Sovi.
“Uhh…” Mang Enjup melenguh ketika melihat apa yang tampak di balik kemeja abu-abu Sovi.
Tadi waktu di luar, Danang mengira Sovi tidak memakai bra karena bisa melihat puting Sovi mencuat di balik kemeja. Ternyata itu benar, dan sekarang Mang Enjup melihat sepasang buah dada sintal Sovi.
“Wuaaah… berani banget ya Mbak Sovi…” puji Layla sambil membelai-belai payudara Sovi.
“Nggak nyangka dari tadi sudah nggak pake beha!” Memang Sovi dari tadi tak memakai bra. Dari rumah. Dan sepanjang perjalanan, dia terangsang karena menikmati pandangan orang-orang yang tergiur kecantikannya. Layla membantu Sovi melepas kemejanya sehingga Sovi pun akhirnya berdiri topless di depan Mang Enjup yang mulai kelabakan.
“Aduh… duh meni geulis Neng Sovi…” keluh Mang Enjup.
Sovi melangkah maju mengikuti hentakan irama musik dari laptop Febby ke hadapan Mang Enjup. Mang Enjup tetap duduk, kemaluannya yang dari tadi ereksi mengacung ke depan. Sovi menjulurkan tangan dan menadah bagian bawah batang kejantanan Mang Enjup yang tak seberapa besar. Satu tangannya lagi bertumpu di paha Mang Enjup selagi dia membungkukkan badan, membuat kedua susunya bergelantungan. Sovi menengadahkan muka, mulutnya terbuka, matanya liar dan lapar. Ketika bekerja di rumah orangtua Sovi dulu, Mang Enjup mengingat Sovi sebagai gadis kecil yang manis dan polos. Kesan manis dan polos itu kini sudah hilang, tertutup ekspresi seksi dan binal.
Wajah gadis kecil yang diingat Mang Enjup itu kini berubah, dengan bibir merah penuh, pipi merona, mata tajam berhias warna. Sovi mengerling, menjilat bibir, menggoda Mang Enjup. Jemarinya membelai halus penis Mang Enjup. Mang Enjup sudah tak perlu lagi menggunakan ilmunya. Wajah Sovi merambat dari dekat selangkangan Mang Enjup ke dada Mang Enjup, dan Sovi mulai menjilat dan mengisap putting Mang Enjup. Mang Enjup kemudian melihat wajah mesum Sovi sudah berada tepat di depan wajahnya, bibir Sovi bertemu bibirnya, dan lidahnya disedot Sovi yang dengan ganas menciumnya.
Mana tahan Mang Enjup! Benihnya yang sudah dari tadi berhasil ditahan meski menghadapi Febby dan Layla, langsung memaksa keluar. Rangsangan dari Sovi, tangan dan wajah dan aksi, memicu ejakulasi.
“Auhhh…” keluh Mang Enjup lirih, hasil terapi ejakulasi dini-nya langsung buyar seketika di tangan Sovi, membuat cairan kental tersembur mengotori lantai di depan kursi. Sovi segera melepas ciumannya dan tersenyum sinis.
“Mang… Payah deh ah… Masa’ udah keluar…” kata Sovi.
Mang Enjup yang masih terengah-engah sesudah keluar tanpa perlu memasukkan kemaluannya ke mana-mana itu masih mendapat hiburan berupa kesenangan kecil, dari kata-kata nakal Sovi barusan.
Dia telah berhasil merusak Sovi. Kini Sovi pun menjadi satu lagi perempuan baik-baik yang dijadikannya binal. Laki-laki tua itu terengah-engah lelah. Tapi puas. Puas sekali.
“Belum juga masuk, mana enak… Sovi bikin bangun lagi, ya, Mang?” kata Sovi dengan suara menggoda.
Bunyi musik dance dari laptop Febby masih membahana, sehingga bagian dalam kantor itu seperti diskotik saja rasanya. Sovi kembali bergoyang seksi, kali ini dia menarik Febby yang dari tadi diam saja. Febby mengerti dan keduanya pun menari sensual di depan Mang Enjup. Benar-benar posisi Mang Enjup ibarat seorang raja zaman dulu, dirubung selir-selirnya, menikmati pertunjukan tari yang menawan hati di depan mata. Tapi kemaluannya kisut lemas sesudah dibuat muncrat Sovi tadi. Sovi memeluk Febby dalam posisi berhadapan, sambil menoleh ke arah Mang Enjup dan mengerling nakal.
“Mang, lihat nih,” kata Sovi sambil menggerayangi Febby.
Sekretaris Mang Enjup itu mendesah-desah ketika Sovi mencupang lehernya, menyibak rambut tebalnya.
“Ahh… uh… ah…” desah Sovi seksi selagi tangannya mencengkeram rambut Febby dan memaksa si sekretaris menyedot dan mengenyot pentilnya.
Layla berkomentar,
“Boleh juga nih! Ikutan dong! Ayo kita bikin si Mamang bangun lagi!” dan langsung membuka kaitan bra-nya sambil menari-nari. Dia ikut topless seperti Sovi, sayang payudaranya sudah mulai turun dan berpentil gelap, tubuhnya memang mulai kalah dengan tubuh Sovi dan Febby yang lebih muda.
Layla tidak mendekati Sovi dan Febby yang bercumbu, malah dia mendekati Mang Enjup.
“Mang masih suka aku gini’in kan…” kata Layla yang kemudian berlutut di depan selangkangan Mang Enjup, kemudian mulai memasukkan kemaluan yang masih lemas itu ke dalam mulutnya. Sebagaimana banyak perempuan di sekeliling hidup Mang Enjup, Layla juga dulu dirusak oleh Mang Enjup. Namanya sekarang, Layla, adalah perubahan nama aslinya yang berarti cahaya di suatu tempat indah bagi manusia-manusia budiman kelak; Layla aslinya seorang gadis taat dari keluarga miskin dengan kampung halaman di pulau seberang, yang suatu hari datang membawa CV dan surat lamaran ke kantor Mang Enjup demi mendapat penghidupan lebih baik. Sayang, bibir sensualnya yang polos menarik perhatian laki-laki mesum berilmu gendam itu, sehingga, seperti kupu-kupu tersangkut jaring laba-laba, Layla pun terjerat. Menjelang akhir wawancara pertama, pakaiannya yang sopan telah bertebaran di lantai kantor, bagian-bagian tubuhnya yang biasa tak dia tunjukkan untuk sembarang orang sudah terungkap semua, dan bibir tebalnya yang polos namun sensual ternoda cairan kelelakian Mang Enjup.
Layla diterima bekerja di kantor Mang Enjup, dengan jabatan resmi sebagai asisten namun pekerjaan sebenarnya adalah menjadi salah satu wanita penghibur pelancar negosiasi. Kehidupannya pun berubah, dia mulai memakai baju minim dan berdandan seksi sehingga memicu masalah dengan keluarganya yang konservatif. Namun jiwanya sudah dicengkeram Mang Enjup sehingga dia malah memilih melupakan keluarganya. Terjerumuslah Layla ke dunia hitam dan dia pun sepenuhnya berkecimpung di sana, sesudah cukup berpengalaman, dia mulai coba-coba mengajak gadis-gadis muda untuk mengikuti jejaknya melacur. Kini sudah sepuluh tahun sejak Layla pertama kali masuk ke kantor itu dengan harapan mendapat pekerjaan.
Layla terus mengisap, kepalanya maju-mundur sekujur kemaluan Mang Enjup yang masih tetap lemas, sambil matanya menatap penuh harap ke orang yang telah menggelapkan hidupnya. Layla tak pernah merasa benci kepada Mang Enjup; bertahun-tahun sudah berlalu dan cengkeraman mental Mang Enjup sudah sirna, tapi Layla sendiri sudah pasrah dengan jalan hidupnya. Kepala Layla makin terbenam ke selangkangan Mang Enjup, bibir dan lidahnya kini menggarap buah pelir laki-laki tua itu. Dulu sekali, Mang Enjup yang melihat indahnya bibir Layla memutuskan untuk membuat gadis itu menjadi ahli memuaskan laki-laki dengan bibirnya. Jadi sepanjang Layla bekerja di bawah Mang Enjup, Mang Enjup sering menyuruh Layla menyervis dengan bibirnya, dan melatih Layla agar mau berbuat apa saja dengan bibir seksinya itu.
Maka sekarang Layla mempraktikkan hal-hal yang diajarkan Mang Enjup kepadanya: dia menciumi dan menggigit-gigit lembut bagian pangkal paha Mang Enjup, mengulum dan menjilati biji, memuja seluruh selangkangan itu dengan bibirnya yang merah. Mang Enjup mengerang keenakan, tangannya memegang belakang kepala Layla, memberi tanda kepada Layla untuk melanjutkan. Layla melanjutkan pelan-pelan, tahu bahwa Mang Enjup yang sudah tidak muda lagi itu tak akan cepat pulih. Mukanya terbenam di antara dua sisi pangkal paha dan di bawah kemaluan Mang Enjup, lidahnya melejit menyusuri ke bawah, dari dasar kantong biji Mang Enjup terus ke bawah, menuju dubur laki-laki tua itu.
Ujung lidah Layla bergerak ke kanan-kiri dan menyapu lubang dubur Mang Enjup, kemudian naik lagi sampai menjilati bagian belakang buah pelir Mang Enjup. Layla tak jijik sama sekali melakukan itu. Selama beberapa menit Layla terus menggarap kemaluan, buah pelir, dan lubang dubur Mang Enjup. Tapi Layla sendiri terangsang berat dengan aksinya sendiri itu. Lagi-lagi itu ajaran Mang Enjup; karena mau mengeksploitasi bibir Layla, maka dulu Mang Enjup menanamkan sugesti bahwa Layla bisa terangsang apabila dia sedang meng-oral laki-laki. Mang Enjup sendiri merasa keenakan sampai-sampai dia tidak bisa berdiri, karena memang di antara kemaluan dan dubur ada titik sensitif yang berkali-kali dirangsang Layla, tapi kejantanannya belum juga bangun. Layla menoleh dan melihat Sovi dan Febby sudah saling membugili. Dia memanggil kedua perempuan yang lebih muda itu supaya tidak asyik sendiri. Kemudian Layla menunjuk ke satu sofa di samping meja kerja Mang Enjup, yang bersandar ke tembok.
Bandar Poker Online - Febby dan Layla membantu Mang Enjup berdiri, dan laki-laki tua itu tertatih-tatih lemas dipapah dua perempuan cantik ke sofa. Begitu Mang Enjup duduk lagi, Layla kembali berlutut di depannya, sementara Febby duduk di sebelahnya, menjulurkan tangan dan mengelus-elus kemaluan Mang Enjup yang masih juga ngadat. Dengan Mang Enjup dikerubungi seperti itu, di mana posisi Sovi? Sovi melangkah naik ke sofa, berdiri mengangkangi pangkuan Mang Enjup.
“Mang,” kata Sovi,
“lihat nih… memekku…”
Mang Enjup membelalak. Dalam posisi seperti itu, bagian bawah perut Sovi tepat berada di depannya, dan tangan Sovi meraih ke bawah merentang vaginanya sampai bagian dalamnya yang berwarna pink dan basah terlihat. Sovi menjolokkan jarinya sendiri ke dalam, meraba vaginanya sendiri.
“Ayo Mang… bikin Sovi enak Mang… Jilatin memek Sovi Mang…” pinta Sovi. Melihat Mang Enjup kewalahan karena bagian bawah tubuhnya diurusi Layla dan Febby, Sovi berinisiatif sendiri, menyodorkan kewanitaannya langsung ke muka Mang Enjup sementara tubuhnya merapat ke tembok di belakang sofa.
“Haohhh! Ayo jilatin Mang! Terus Mang!” jerit Sovi selagi lidah Mang Enjup memasuki vaginanya.
Sovi mulai memain-mainkan payudaranya sendiri. Sekali-sekali dia berseru,
“Terus jilatin,” dan
“Entot Sovi Mang” sementara nafasnya memburu.
Setelah dirangsang terus, kewanitaan Sovi mulai mengeluarkan cairan sehingga bibir Mang Enjup pun basah belepotan, tapi Sovi tak peduli, dia terus memaksakan memeknya mendesak muka orang yang dulu dihormatinya itu. Lama sekali ketiga perempuan itu berusaha membangkitkan kejantanan laki-laki yang telah merusak mereka. Mungkin sampai setengah jam. Layla merangsang di dekat anus, Febby mengocok serta menjilati batang penis, sementara Sovi menyodorkan vaginanya untuk dilalap Mang Enjup.
“Sudah naik lagi nih!” teriak Febby girang sesudah dia melihat kemaluan Mang Enjup akhirnya keras lagi.
Di antara ketiga perempuan yang ada di sana, Febby-lah yang saat ini paling sering menjadi pasangan seks Mang Enjup, karena kedekatannya sebagai sekretaris. Aslinya Febby mulai bekerja di perusahaan itu di bagian lain, tapi suatu hari dia dipindah menjadi sekretaris Mang Enjup. Mang Enjup langsung mengacak-acak hidup Febby begitu gadis berkacamata berhidung mancung itu jadi bawahannya, sedikit demi sedikit: pertama, Febby dibuat tak lagi tertarik dengan pacarnya, sehingga pemuda malang itu akhirnya diputus oleh Febby. Kemudian Febby yang aslinya berpenampilan tomboy dipengaruhi sehingga berubah, dulu Febby berambut pendek dan biasa mengenakan celana panjang ke kantor, sekarang Febby memelihara rambutnya jadi panjang dan megar, dan dia selalu memakai rok mini dan sepatu hak tinggi. Dan Mang Enjup juga membuat Febby jadi mudah cepat orgasme, karena Mang Enjup ingin sekretarisnya itu bisa puas biarpun disetubuhi hanya beberapa menit. Kalau Febby susah puas, bisa-bisa dia tidak seSovi dan mencari-cari kenikmatan dari orang lain. Sementara itu kemampuan kerja dan sikap dingin Febby tetap seperti semula.
Nah, seperti yang sudah dijelaskan, oleh Mang Enjup, Layla dibuat mudah terangsang apabila sedang melayani laki-laki dengan bibirnya, sementara Febby dijadikan cepat mendapat orgasme. Keduanya sedari tadi tidak diam saja. Febby sempat mengalami orgasme kecil ketika tadi digerayangi Sovi, sementara Layla memainkan lidahnya di selangkangan Mang Enjup sambil bermasturbasi dan menuju klimaks. Sementara Sovi tidak juga puas biarpun sudah memaksa Mang Enjup menjilati kemaluannya.
“Sovi, Sovi, kamu naikin Mang, sekarang!” pinta Mang Enjup. Sovi mengerti, dia langsung menurunkan tubuhnya menyambut tegak kembalinya kejantanan Mang Enjup. Penis Mang Enjup yang sedang tegak itu diarahkan oleh Febby ke arah belahan vagina Sovi. Sovi yang mengangkangi selangkangan Mang Enjup pelan-pelan menurunkan tubuh sehingga masuklah penis tua itu ke dalam belahan kewanitaannya yang basah. Tapi memang punya Mang Enjup tidak sebesar penis banyak orang yang pernah dicobanya. Jadi “kurang berasa” untuk Sovi. Ekspresi wajahnya tak berubah ketika dimasuki batang Mang Enjup. Layla ikut nimbrung, dia mengalihkan perhatian ke pantat Sovi. Ketika lidah Layla mulai menyapu belahan pantat Sovi, Sovi merinding.
Sovi mulai menaikturunkan tubuhnya, menjepit kejantanan Mang Enjup dengan vaginanya, sambil menciumi wajah Mang Enjup. Suara desahannya tak sebegitu intens, jelas karena dia masih belum puas dengan ukuran barang yang mempenetrasinya. Tapi ereksi yang diusahakan dengan susah payah sampai setengah jam itu tidak bertahan lama. Mang Enjup mengeluarkan suara mengeluh panjang dan berejakulasi di dalam vagina Sovi, setelah hanya empat-lima kali digenjot Sovi. Semprotan maninya cepat berhenti, dan kemaluannya cepat sekali melemas dan kisut. Umur tak bisa dibohongi, sang perusak wanita itu tak lagi jantan, tiga perempuan seksi merubungnya pun disia-siakan begitu saja.
“Heh?… Yaaah… Kok cepet lagi keluarnya? Aaahhh…” Sovi merajuk.
“Aduh… maafin Mamang,” kata Mang Enjup yang lemas.
Tubuhnya yang tua itu terasa capek sekali; dua kali orgasme dalam waktu singkat sangat menguras tenaga. Mata Mang Enjup jadi sayu, dan dia jadi merasa mengantuk. Dan kepalanya terasa berkunang-kunang. Tanpa dapat menahan, Mang Enjup tertidur…
“Haahhh… malah tidur… Iiihh… “ keluh Sovi. Febby merangkulnya dan membantunya turun dari pangkuan Mang Enjup.
“Sudah… Mbak Sovi, biarin aja Bapak istirahat, jarang banget dia bisa ngecrot sehari dua kali dalam waktu berdekatan gitu. Sekarang Mbak Sovi pulang aja ya? Penjelasannya kan udah, Mbak Sovi juga udah tahu apa yang harus dilakukan,” bujuk Febby.
Febby dan Layla mengajak Sovi ke kamar mandi kecil di dalam kantor itu, lalu mereka bertiga membersihkan diri dengan shower, Sovi mencuci vaginanya. Cairan yang dikeluarkan Mang Enjup di dalam dirinya hanya sedikit. Sesudahnya mereka mengeringkan diri dan berpakaian lagi. Ketika akan meninggalkan ruangan, Sovi menengok ke Mang Enjup yang tertidur. Kedua “selir”nya—Febby dan Layla, memakaikan kembali baju dan celana Mang Enjup. Sovi tersenyum melihat Mang Enjup yang menganga mulutnya dan ngorok ketika ketiduran di sofa, juga ketika melihat betapa perhatiannya Febby dan Layla kepada Mang Enjup. Entah apa yang dipikirkan keduanya terhadap laki-laki tua yang telah mengubah hidup mereka itu.
Benci? Dendam? Acuh? Atau malah sayang? Sovi melangkah keluar dengan tak puas. Sekali lagi dia melewati Danang yang duduk menumpangkan kaki di meja, dan kembali dia melirik genit ke arah Danang. Sayangnya Danang terlalu pengecut untuk menanggapi ajakan Sovi itu. Padahal dia bisa saja jadi pelampiasan Sovi yang tidak sempat dibikin puas oleh Mang Enjup. Tapi karena Danang tidak berani berinisiatif, maka dia cuma bisa gigit jari. Sovi pulang sambil mengingat-ingat penjelasan mengenai perannya dalam negosiasi tender mendatang. Dia perlu menggunakan tubuhnya untuk meyakinkan Pak Walikota. Pesan itu, tanpa diucapkan jelas oleh Mang Enjup maupun Febby dan Layla, sudah tertanam di kepala Sovi. Dan ketika Sovi berbaring malam itu, tubuhnya yang belum terpuaskan membuat dia sulit tidur. Besok dia akan menghadap Pak Walikota, dan dia berharap Pak Walikota tidak punya masalah ejakulasi dini seperti Mang Enjup…
Ketika Sovi dan Citra bersekolah di SMA yang sama dulu, berbeda dua angkatan, keduanya dikenal sebagai kembang di sekolah itu. Kedua gadis yang orangtuanya saling kenal itu sama-sama jelita, namun tipe kecantikan mereka berbeda. Citra selalu bergaya, glamor, dan menggoda; Sovi polos, malu-malu, dan bersahaja. Tak heran sejak dulu mereka berdua tidak pernah kehabisan perhatian dari laki-laki, mulai dari sesama siswa sampai orang-orang lebih tua. Sovi tidak pernah menanggapi karena dulu dia menganggap belum waktunya dia pacaran.
Sedangkan Citra beredar dari satu laki-laki ke laki-laki lain, menikmati kekaguman dan cinta mereka. Kedua gadis cantik itu akhirnya menjadi saudara ipar, dipertalikan lewat pernikahan Sovi dengan Bram adik Citra, namun keduanya juga jadi bersahabat, berbagi suka dan duka, saling membela dan menjaga. Pagi-pagi Citra sudah ditelepon Sovi yang minta dirias dan didandani untuk suatu acara. Sovi awalnya tidak cerita acara apa, tapi di tengah pembicaraan ketika dirias Citra berhasil mengorek sedikit-sedikit apa yang mau dilakukan adik iparnya.
“Omong-omong, ada acara apa, kok tengah minggu begini?” Citra mengulik.
“Aku diminta bantu negosiasi tender proyek sama Mang Enjup,” kata Sovi.
“Tapi kenapa persiapannya kayak mau ke resepsi? Sampai pake kebaya segala…”
“Diminta Mang Enjup,” kata Sovi sambil tersipu malu,
“Mau ketemu orang penting…”
Citra tidak bertanya lagi, tapi dia merasakan sesuatu yang mencurigakan. Dia tahu apa yang Mang Enjup pernah lakukan kepada Sovi, dan dia tahu persis reputasi Mang Enjup, tapi dia tak menyangka Sovi akan terjerumus sedemikian jauh. Citra tidak masalah kalau Sovi mengubah diri demi Bram, tapi sepertinya perubahan Sovi tidak cuma itu… Tapi untuk saat itu Citra memilih diam dulu. Dia meneruskan pekerjaannya. Tak lama kemudian Citra berkacak pinggang sambil memperhatikan hasil karya-nya, Sovi yang sudah dirias lengkap dan tampak mempesona dalam kebaya modern. Tubuh Sovi yang pada dasarnya indah terlihat makin gemulai dalam balutan kebaya dan bawahan kain batik yang pas badan itu. Tapi Citra sudah bisa menebak, dalam beberapa jam dandanan anggun itu akan rusak diacak-acak. Entah oleh siapa. Barangkali oleh “orang penting” itu.
Mungkin Mang Enjup juga bakal ikutan. Kain batik yang membungkus pahanya bakal disingkap agar paha mulus Sovi dapat dijamah. Kebaya berdada rendah yang membusungkan dada Sovi itu tak bakal melindungi payudara Sovi dari ciuman dan gigitan; begitu pula leher mulus Sovi yang terlihat seksi tanpa tertutup rambutnya yang disanggul modern. Make-up yang dibubuhkan Citra dengan hati-hati itu bakal jadi awut-awutan karena keringat dan sperma, lipstik merah yang memperindah bibir Sovi bakal terhapus ketika berkali-kali bergesekan dengan batang kejantanan.
Citra menceletuk,
“Udah siap nih, pengantinnya siap naik ke pelaminan.” Sovi tertawa kecil. Citra merasa sedikit miris.
“Di mana acaranya?” tanya Citra lagi.
Sovi menyebut nama satu hotel yang terletak dekat pusat kota. Citra tersenyum kecut. Dia hafal benar nama hotel itu. Hotel berbintang yang dulu sering sekali Citra datangi dengan berbagai laki-laki.
“Nanti mau dijemput sama Mang Enjup dari rumah, makanya siap-siapnya dari sekarang,” kata Sovi.
“Bram belum pulang ya?”
Sovi menggelengkan kepala menjawab pertanyaan kakak iparnya.
“Kapan dia pulang?” Citra terus bertanya.
“Iih, Kak Citra kok tanya-tanya melulu,” seru Sovi,
“Biarin aja dia mau pulang kapan…”
Citra diam saja sesudah itu, agak prihatin dan khawatir tentang apa yang akan terjadi pada Sovi. Bukan seperti ini yang dia harapkan ketika beberapa waktu lalu dia memberi saran kepada Sovi agar lebih mengikuti kemauan suaminya. Sebandel-bandelnya Citra, dia masih sayang pada adik iparnya, dan tidak mau Sovi terjerumus seperti dirinya. Ketika Sovi kembali ke rumahnya sendiri untuk menunggu dijemput, Citra langsung menelepon Bram, ingin tahu sedang di mana adiknya itu. Teleponnya tidak dijawab. Tentu saja, karena Bram mematikan telepon genggamnya di atas pesawat yang sedang membawanya pulang lebih cepat daripada dijadwalkan.
Tidak lama kemudian, Sovi yang menunggu di rumahnya mendengar suara mobil berhenti di luar. Mang Enjup datang menjemputnya. Seperti biasa Mang Enjup ditemani dua anak buahnya yaitu Danang dan Reja. Reja menyetir sementara Danang memang kerjaannya mengintil pamannya ke mana-mana.
“Haduuh… Rupanya habis ada bidadari turun ke dunia? Mang sampe ga percaya. Geulis kieu,” puji Mang Enjup.
Dia memandangi sekujur tubuh putri pemilik perusahaan tempat kerjanya itu penuh nafsu. Kalau saja hari itu bukan hari pelaksanaan rencananya, Mang Enjup ingin sekali merasai lagi tubuh indah Sovi. Dia teringat-ingat terus betapa tubuh tuanya bertekuk lutut dua kali akibat kemolekan Sovi kemarin, ketika Sovi mendatanginya di kantor. Danang dan Reja juga terbit gairahnya melihat Sovi, mereka belum lupa pengalaman mereka beberapa kali mencicipi tubuh Sovi.
“Ayoh kita langsung berangkat. Neng Sovi sudah makan?” tanya Mang Enjup. Sovi mengangguk.
“Kan tadi Mang bilang suruh siap lahir batin,” kata Sovi, merujuk percakapan mereka tadi pagi. Saat itu sudah lepas tengah hari. Mobil sedan Mang Enjup segera meluncur meninggalkan rumah Sovi, menuju pusat kota.
Semua itu tak lepas dari pengamatan Citra yang sengaja duduk-duduk di luar, mengawasi rumah Sovi. Dengan gemas Citra kembali berusaha menelepon Bram. Belum juga berhasil.
Sepanjang perjalanan Mang Enjup berbicara sesuatu ke Sovi. Sovi tak memperhatikan. Dia sedang menikmati bagaimana ketiga laki-laki di dalam mobil itu mengagumi dirinya. Sovi duduk di belakang bersama Mang Enjup sementara Reja di depan mengemudi sedangkan Danang di kursi penumpang depan. Danang berkali-kali menengok ke belakang tanpa alasan jelas, hanya untuk melihat wajahnya. Sementara Reja terus memperhatikan jalan, tapi Sovi beberapa kali melihat lewat kaca spion dalam, mata Reja tajam mengamatinya. Dan Mang Enjup sendiri mengajak berbicara Sovi sambil tangannya menggenggam tangan Sovi. Genggaman itu kadang dilepas menjadi belaian ke paha Sovi yang masih terbungkus kain.
Kak Citra, beginikah rasanya jadi dirimu?
Sejak berubah penampilan, cara berpikir Sovi ikut berubah. Kini dia menikmati perhatian dan kekaguman laki-laki. Dia mulai memandang dirinya sebagai objek nafsu lawan jenisnya, keberadaannya hanya demi memuaskan syahwat laki-laki. Seakan kodratnya adalah untuk menyediakan kecantikan dan keseksian tubuh. Dan bukan hanya untuk suaminya. Tapi untuk semua laki-laki. Dia tak menolak siapapun. Seperti seorang pelacur, Sovi kini bersedia dijamah siapapun tanpa memandang status dan tampang. Sejak perubahannya, sudah banyak laki-laki yang menikmati tubuhnya. Laki-laki tua seperti Mang Enjup. Laki-laki kalangan bawah seperti Pak Giman, si tukang sayur. Begundal seperti Danang dan para aparat yang menciduknya. Sovi sudah bisa mengira bahwa tubuhnya akan diumpankan kepada Pak Walikota.
Kata-kata terselubung yang disampaikan Febby dan Layla kemarin membenarkan itu. Dan Sovi sama sekali tak keberatan. Dia sudah pernah meladeni manusia-manusia yang lebih tak pantas bagi dirinya, jadi Pak Walikota malah bukan tantangan baginya. Bagaimanapun, Pak Walikota tak bisa dibilang buruk rupa. Memang umurnya sudah matang, tapi masih lebih muda daripada Mang Enjup. Dibanding Mang Enjup yang buncit, Pak Walikota lebih tegap dan atletis, karena pensiunan perwira. Ditambah lagi, Pak Walikota jelas lebih berkuasa daripada Mang Enjup, apalagi suami Sovi sendiri, Bram.
Masih Sovi ingat bagaimana Pak Walikota menatapnya di pesta.Tatapan seorang laki-laki yang lapar yang menginginkannya, yang seolah hendak menelanjanginya saat itu juga. Memang, ketika itu bukan hanya dia yang dipandangi seperti itu; dua perempuan lain yang ada di sana juga dipandangi seperti itu. Tak apa. Sovi menduga dia mungkin akan bertemu dengan kedua perempuan itu lagi. Biar saja.Dia sudah merasa cukup percaya diri untuk bersaing. Oh, dia sudah tak sabar untuk bertemu Pak Walikota! Mereka menuju satu kawasan yang dikenal sebagai pusat hiburan malam kota. Di tengah siang, suasananya tak begitu ramai, tak seperti kawasan bisnis dan perdagangan di sekelilingnya. Diskotik, panti pijat, karaoke, dan hotel di kiri-kanan jalan terlihat belum hidup. Tapi tempat parkir yang penuh mobil menunjukkan bahwa tetap ada orang-orang yang sedang melepas lelah dan suntuknya di sana, mencuri waktu untuk mereguk kenikmatan di tengah sibuknya jam kerja.
Mobil Mang Enjup berbelok ke arah satu gedung yang sepertinya bertingkat empat atau lima, tapi bagian mukanya tertutup dinding kamuflase utuh yang menghalangi pandangan. Sovi mengira inilah hotel tempat dia akan bertemu dengan Pak Walikota. Sovi baru tahu mengenai hotel itu, tapi bagi Mang Enjup, nama hotel itu sudah sangat akrab. Hotel itu terkenal sebagai salah satu pusat hiburan malam terbesar di kota. Prostitusi, judi, narkotika, semua terjadi di balik dinding yang menutupi muka hotel itu. Pihak berwenang bukannya tak tahu. Mereka sangat tahu. Dan mereka ikut menikmati bisnis gelap itu, baik uangnya maupun kegiatan usahanya. Mobil berhenti di depan lobi dan Mang Enjup turun bersama Sovi dan Danang. Reja kemudian membawa mobil ke tempat parkir. Sovi dan yang lain melangkah masuk ke lobi hotel itu yang terlihat agak sepi. Di depan meja resepsionis berdirilah seorang laki-laki berambut cepak dan bertubuh besar, mengenakan kacamata hitam dan pakaian serba hitam.
“Pak Jupri. Selamat datang, silakan ikut saya,” kata laki-laki cepak itu. Mang Enjup tersenyum dan mengikuti laki-laki itu yang langsung berjalan dengan langkah-langkah besar ke arah satu pintu di seberang lobi. Sovi dan Danang mengikuti.
Bandar Judi Online - Di balik pintu yang mereka lewati ada koridor sepi dengan beberapa pintu lain di kanan-kiri. Mereka menuju pintu paling ujung dan di balik pintu itu ada satu lounge yang terbuka ke arah kolam kecil dan taman, dengan bar menempel di satu dindingnya dan sofa-sofa putih tersebar. Karena masih siang, lounge itu sepi, hanya ada bartender yang bekerja dan beberapa orang yang duduk di sofa. Laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki biasanya berpenampilan rapi seperti orang kantoran atau pengusaha. Yang perempuan umumnya muda-muda, cantik, berpakaian dan berdandan seksi. Inilah salah satu lokasi paling sering dikunjungi di hotel itu, yaitu tempat pra hidung belang mencari dan tempat para wanita penghibur dan mucikari mangkal. Terlihat seorang laki-laki botak berGiman memanggil seorang perempuan paro baya, mucikari, yang datang diikuti tiga anak buahnya. Laki-laki botak itu memandangi ketiga perempuan yang disodorkan, bingung mau memilih yang mana.
“Tiga-tiganya saja Om, kalau bingung,” goda si mucikari.
Di pojok lain seorang laki-laki berdiri meninggalkan sofa sambil merangkul pelacur yang sudah dipilihnya, menuju pintu lift di sebelah bar, yang akan membawa mereka ke lantai-lantai berisi kamar.
“Pak Jupri, ini yang mau mewakili di atas?” kata si cepak sambil menengok ke Sovi.
“Iya,” kata Mang Enjup.
“Namanya Sovi.”
“Non Sovi bisa ikut dengan saya ke atas,” kata si cepak lagi.
“Pak Jupri boleh tunggu di sini, atau tidak usah tunggu juga tidak apa-apa, barangkali terlalu lama.”
“Kita tunggu di sini aja sebentar,” kata Mang Enjup sambil menoleh ke Sovi.
“Neng, ikut sama bapak ini ya ke atas. Mohon bantuannya, ya Neng. Inget pentingnya tender ini buat perusahaan, buat kita semua.”
Mang Enjup menggenggam tangan Sovi erat-erat, sambil memandangi dengan mata penuh harap.
“Iya, Mang,” kata Sovi sambil tersenyum.
Mereka berpisah di situ. Mang Enjup dan Danang mencari tempat duduk di sofa, Sovi dan si cepak menuju pintu lift. Setelah duduk, mata Danang langsung jelalatan. Beberapa pelacur yang berseliweran tersenyum menggoda ke arahnya. Sementara Mang Enjup mengawasi sekelilingnya. Dia mencari-cari kedua saingannya. Benar saja, Ahonk Sunargo ada di kursi depan bar, duduk menghadap bartender, tubuh kecilnya kelihatan tambah kecil karena posisinya yang seperti meringkuk menggenggam gelas berisi minuman keras. Dia sendirian dan tak mengacuhkan perempuan-perempuan cantik yang ada di sana. Beda dengan saingannya yang satu lagi, Majed. Majed yang ganteng dan bertampang seperti bule itu pindah duduk ke sofa tempat laki-laki botak berkumis tadi yang ternyata temannya, dan perempuan-perempuan yang merubungnya mengintil seolah harem-nya. Pertarungan sudah dimulai, pikir Mang Enju
Pintu lift membuka di lantai lima, lantai tertinggi hotel. Sovi dan si cepak keluar ke koridor sepi dengan sedikit pintu, tanda bahwa di lantai ini kamar-kamarnya besar sehingga jarak antar pintu lebih jauh. Memang lantai lima adalah lantai khusus kamar suite, kamar-kamar termahal di hotel itu. Salah satu pintu kamar terbuka dan keluarlah dua laki-laki bertubuh tegap seperti aparat. Salah seorangnya terlihat teler dan mesti dipapah temannya. Sovi dan si cepak menepi ketika kedua laki-laki tegap itu berpapasan dengan mereka, menuju lift. Mungkin di dalam kamar itu sedang ada sesuatu yang dinikmati, sesuatu yang membikin teler.
Tapi keempat orang yang bertemu tanpa sengaja di lorong lantai lima hotel itu tak saling bertanya. Tahu sama tahu. Mereka tidak peduli apa yang dilakukan orang lain di kamar-kamar tertutup di sana, asalkan tidak mengusik apa yang mereka sendiri lakukan. Dalam kerahasiaan dan ketertutupan, di balik dinding yang menghalangi pandangan dari luar, segalanya bisa terjadi. Sovi merasakan jantungnya berdebar-debar ketika dia dibawa menuju satu pintu yang terletak paling ujung. Di depan pintu itu, si cepak mengetok pintu beberapa kali lalu mengangkat walkie-talkie yang dari tadi ada di pinggangnya.
“Pak, dari Pak Jupri, sudah datang,” katanya ke walkie-talkie itu.
“Suruh masuk,” kata suara yang membalas.
Mereka berdua masuk setelah kunci pintu dibuka. Pintu itu adalah pintu kamar suite terbesar di hotel. Yang menyambut Sovi di dalam adalah pemandangan interior mewah area depan kamar itu, ruangan kecil bernuansa warna hijau zaitun dengan kertas dinding mewah dan lukisan besar. Di ruangan itu ada satu sofa lebar.
“Silakan duduk di sofa sama yang lain,” kata si cepak kepada Sovi, kemudian dia keluar lagi dari kamar itu.
“Yang lain” yang dimaksud adalah dua perempuan lain yang sudah duduk di sofa. Dua perempuan yang sudah Sovi lihat waktu pesta. Dua saingannya. Duduk di sebelah kiri sofa, Sabrina Iffa Almaraz. Perempuan Amerika Latin yang dibawa Majed itu tampak menawan dalam gaun merah dan sepatu hak tinggi yang juga merah, membuat Sovi teringat telenovela yang dulu ditayangkan di TV dan sangat terkenal, di mana pada pembukaan tokoh utamanya menari sambil menyanyikan lagu tema dengan mengenakan pakaian seperti itu. Sabri berkulit sawo matang, dengan mata kelabu-biru bening, rambut coklat bergelombang, dan hidung mancung.
Kecantikannya memang menonjol, namun di negara asalnya yang terkenal sebagai gudang perempuan tercantik sedunia, Sabri sebenarnya tidak istimewa, apalagi dia sebenarnya berasal dari latar belakang miskin dan tak punya ketrampilan. Keadaan itulah yang membuat Sabri terjerat iming-iming pekerjaan yang ditawarkan mafia setempat, dan pada akhirnya dia terdampar di negara asing yang jauh dari kampungnya. Masih untung, di negara asing yang jauh itu justru wajah uniknya membuat dia berharga lebih tinggi sebagai penghibur, makanya hanya orang-orang yang mampu bayar mahal macam Majed-lah yang bisa menanggap jasanya..
Sementara di sebelah kanan sofa bersandarlah Wang Shen Yi alias Shena, yang mewakili Ahonk Sunargo. Salah satu bisnis Ahonk adalah agen model, namun Ahonk juga mengaryakan sebagian modelnya sebagai pelacur kelas tinggi. Tarif mereka yang bisa mencapai jutaan untuk semalam membuat gadis-gadis itu beredar di kalangan eksklusif saja. gairahsex.com Shena adalah salah satunya, gadis keturunan oriental yang terbujuk rayuan agen “pencari bakat” bawahan Ahonk yang menawarkan pekerjaan model dengan menyatakan tampang khas Asia Timur yang dimiliki Shena sedang diminati. Diminati, oleh banyak laki-laki, keturunan maupun pribumi, yang memang menggemari kulit kuning langsat dan mata sipit, dan mampu mengeluarkan uang banyak. Uang dan kehidupan glamor membuat Shena sulit lepas dari pekerjaannya, memuaskan mata dan tubuh laki-laki. Tubuh langsing Shena siang itu berbalutkan cheongsam sutra coklat, sementara tata rambutnya persis seperti ketika Sovi pertama kali melihatnya, dikepang satu di belakang kepala dan dihias jepit rambut berbentuk anggrek.
Dengan hadirnya Sovi, maka lengkaplah perwakilan dari tiga peserta tender yang akan bersaing memperebutkan proyek besar. Sovi jelas berbeda dengan Sabri dan Shena. Kedua perempuan itu boleh dikata memang berprofesi prosititusi kelas tinggi. Sementara Sovi bukan. Sovi seorang auditor internal paro-waktu di perusahaan perkongsian orangtuanya dan orangtua Bram, juga istri Bram, dan calon pewaris perusahaan. Sebenarnya bukan tugas Sovi untuk mengorbankan tubuhnya demi perusahaan. Namun siasat Mang Enjup yang sudah mengetahui kesukaan Pak Walikota terhadap Sovi-lah yang membuat Sovi berada di sana. Dan semua itu berawal dari foto-foto pelacur yang Sovi temukan di HP Bram!
Ketika Sovi datang, Sabri dan Shena sedang ngobrol dengan bahasa Inggris. Keduanya berhenti bicara sewaktu Sovi mendekat. Shena menatap Sovi dengan tatapan angkuh, sementara Sabri tersenyum lebar, berdiri, dan menjulurkan tangan.
“Hi there. I think I already saw you at the party?”
“Hai, bukankah saya pernah lihat kamu di pesta itu?” sapa Sabri dengan bahasa Inggris berlogat Latin.
Sovi menyambut uluran tangan itu dan berjabat tangan dengan Sabri.
“How do you do? I’m Sovi.”
“Apa kabar? Saya Sovi.”
“Nice to meet you Sovi. You’re here for the business also?”
“Senang bertemu kamu, Sovi. Kamu ada di sini untuk urusan itu juga?” sambut Sabri ramah. Gadis Latino itu sepertinya memang mudah akrab dengan orang.
Kemudian Sovi menyodorkan tangan ke arah Shena, berusaha berkenalan. Beda dengan Sabri, Shena tampak meremehkan Sovi dari tadi, tapi mukanya terlihat seperti kecele’ ketika mendengar Sovi juga bisa ngobrol lancar dalam bahasa asing dengan Sabri. Sovi duduk di antara Sabri dan Shena di tengah sofa, kebaya warna emasnya membuat dia tak kalah oleh keelokan kedua saingannya.
“Udah biasa urusan begini?” tanya Shena datar ke Sovi.
Sovi bingung menjawabnya. ‘Biasa urusan begini’ maksudnya… biasa menggunakan keindahan tubuhnya untuk melobi?
Jadi Sovi menjawab dengan tersenyum saja.
Shena tersenyum sinis. “Masih baru ya… Asal jangan minta diajarin aja entar.”
“Nice room they have here.”
“Kamarnya bagus juga,” celetuk Sabri, yang tidak mau ketinggalan obrolan.
“I’ve seen better…”
“Saya sudah pernah lihat yang lebih bagus…” balas Shena, seolah mau menyombongkan pengalamannya.
“But this one seems really big. Too big.”
“Tapi kamar ini kelihatannya besar sekali.”
Terlalu besar kalau hanya untuk empat orang…
Ruang depan itu membuka ke arah bagian dalam kamar suite yang tak terhalang dinding. Dari dalam muncullah seorang laki-laki bertubuh tegap, berusia setengah baya, mengenakan kimono. Rambutnya hitam bercampur uban, wajahnya keras namun tampan. Dialah Pak Walikota.
“Selamat datang, ladies,” katanya ramah.
“Moga-moga tidak bosan karena kelamaan nunggu. Ayo masuk.”
Ketiga perempuan cantik itu berdiri dan mengikuti Pak Walikota masuk ke ruangan utama kamar suite. Kamar itu besar sekali, mungkin lebih mirip suatu unit apartemen penthouse daripada kamar hotel. Ada ruang tengah yang berisi sofa, kursi, dan televisi, dan terlihat beberapa pintu yang mungkin menuju kamar mandi atau kamar tidur tersendiri. Seluruh lantainya tertutup karpet empuk. Di ruang utama, Sovi, Sabri, dan Shena disuruh duduk lagi di sofa yang ada di sana, sementara Pak Walikota duduk di kursi di seberangnya. Posisi duduk ketiga perempuan seperti di depan tadi: Sabri di kiri, Shena di kanan, Sovi di tengah.
“Saya rasa kalian bertiga sudah tahu kan kenapa kita semua ada di sini. Saya mau tahu yang mana di antara perusahaan yang kalian wakili yang paling pantas untuk jadi mitra kerja pemerintah daerah untuk proyek penting yang akan kita garap. Jadi, silakan.”
Pak Walikota mendatangi sofa tempat ketiga perempuan cantik itu duduk. Pertama dia mendekati Sabri. Tanpa disuruh, Sabri berdiri.
“What’s your name?” “Namamu siapa?” tanya Pak Walikota sambil mengelus lengan perempuan Latino itu.
“Sabrina, Pak. Di panggil Sabri,” kata Sabri dengan logat asing tapi lancar. Dia sudah cukup mahir setelah beberapa tahun bekerja. Walikota tersenyum.
“Good, good. Jadi kita nggak usah ngomong bahasa Inggris kan nih.” Sabri duduk kembali.Gairah sex
Kemudian Pak Walikota ke orang di sebelah Sabri, Sovi. Sovi juga berdiri meniru Sabri. Pak Walikota justru meraih tangan kanannya.

“Kita ketemu lagi, Bu Sovi… Boleh saya panggil Sovi saja kan?” kata Pak Walikota, lalu dia mencium tangan kanan Sovi yang di jari manisnya tersemat cincin pernikahan itu.
“Tapi nggak nyangka juga ada kesempatan seperti ini… semoga bisa lancar dan sesuai harapan,” kata Pak Walikota. Sovi tak paham apa yang dimaksud.
Tanpa menjelaskan kata-katanya, Pak Walikota berlanjut menuju perempuan terakhir di sofa itu, Shena. Shena juga berdiri dan tersenyum semanis mungkin. Di antara tiga perempuan itu, Shena yang paling muda. Tapi pengalamannya sebagai penghibur tak kalah dengan Sabri, apalagi dari Sovi. Jadi dia tahu benar cara bersikap di hadapan laki-laki.
“Saya Shena, Pak Walikota,” katanya sambil mengerling genit.
Dilihatnya Pak Walikota balas tersenyum, lalu menjulurkan tangan dan membelai pipinya.
“Shena ya. Cantik juga kamu,” kata Pak Walikota.
“Makasih Pak,” ujar Shena, membalas basa-basi.
“Oke,” kata Pak Walikota sesudah menyapa ketiganya.
“Saya kira kalian sudah diberitahu, atau tahu sendiri, kita semua mau apa di sini. Iya kan?” Sabri dan Shena mengangguk dan tersenyum.
“Nah, mesti saya beritahu… yang mau kita lakukan ini mungkin nggak seperti yang kalian kira.” Walikota memandangi ketiganya, lalu bertepuk tangan. Isyarat untuk sesuatu.
“Kalian udah siap fisik dan mental kan?” tanya Walikota.
Dari bagian dalam kamar itu terdengar langkah-langkah dan suara-suara. Laki-laki. Dan muncullah mereka, lima belas orang, di belakang Walikota. Sovi, Sabri, dan Shena memperhatikan orang-orang yang datang itu. Dan ketiganya cukup terkejut. Mungkin yang sedang mereka saksikan itu sekumpulan manusia paling jelek, menjijikkan, dan mengerikan yang pernah mereka lihat. Entah dari mana asalnya mereka. Preman? Gelandangan? Klub orang jelek? Ada satu orang yang di mukanya ada bekas luka besar melintang dari mata ke hidung. Ada lagi yang mukanya bopeng seperti bekas jerawat parah atau cacar. Ada seorang tua dengan pakaian lusuh, seperti peminta-minta. Ada anak muda kurus dengan mata kosong dan tangan penuh bekas luka suntik. Satu orang di antara mereka nyengir, mukanya hitam, tiga gigi depannya ompong. Di belakang ada seseorang yang kegemukan. Ada yang pendek sekali, nyaris cebol, dengan mata liar. Sekumpulan manusia-manusia bernasib kurang mujur bertampang hancur. Untuk apa mereka ada di sana? Sovi dan kedua yang lain bertanya-tanya. Mereka memandangi Pak Walikota. Lalu terdengar salah seorang dari kelompok itu menceletuk.
“Gile, cakep-cakep banget. Beneran buat kita nih Pak?”
Walikota tersenyum dan berkata kepada ketiga perempuan itu.
“Oke. Begini caranya. Kalian mungkin datang ke sini sudah tahu mau berbuat apa. Mungkin kalian dikasih tahu harus melayani saya sebaik-baiknya. Kalian pasti tahu, kalian ada di sini untuk bersaing. Kepentingan orang yang kalian wakili tergantung pelayanan kalian. Nah, kebetulan saya punya satu keinginan, dan saya pikir itu bisa dijadikan bagian persaingan ini.”
Tertegun ketiga perempuan itu mendengar kata-kata Pak Walikota. Apalagi ketika mendengar lanjutannya…
“Saya mau lihat kalian layani orang-orang ini. Saya akan tentukan pemenangnya berdasarkan siapa yang paling saya sukai aksinya.”
Sovi kaget. Shena mengeluarkan suara menahan nafas. Sabri tidak bereaksi. Pak Walikota berbalik menghadapi kumpulan orang jelek di belakangnya, lalu berkata,
“Silakan, teman-teman.”
Orang kegemukan yang berdiri paling belakang maju melewati teman-temannya, menuju ke depan. Pak Walikota bergeser, berjalan menuju satu kursi dan duduk di sana. Di ruangan tengah kamar suite hotel itu, terhampar karpet empuk. Sofa-sofa berjajar merapat ke dinding di sekelilingnya, seperti kursi penonton mengelilingi suatu arena. Pak Walikota duduk di kursi yang nyaman, sepertinya dia malah bersiap menjadi penonton kegiatan yang akan terjadi. Tidak butuh waktu lama untuk memulai. Orang-orang itu pasti horny sekali, melihat keseksian tiga perempuan di depan mereka, apalagi mereka kalau dilihat dari tampangnya bisa dikata orang-orang yang jarang bisa menikmati wanita cantik. Si gemuk yang maju ke depan itu mendekati Sabri. Berat badannya jelas lebih daripada 100 kilogram. Dia berdiri tepat di depan Sabri. kumis dan jenggotnya seperti tidak dicukur selama seminggu, dan bau badannya juga seperti orang yang tidak mandi seminggu juga. Tapi Sabri masih bisa tersenyum manis menghadapi dia.
“Kamu suka aku ngga,” tanya Sabri kaku sambil mengelus pipi berjenggot si gemuk.
Mana bisa dia tidak suka? Sabrina, dengan rambut panjang coklat yang ikal terurai di bahu, mengenakan gaun merah pendek yang hanya menutup sampai jauh di atas setengah pahanya. Sepasang kakinya yang panjang, kecoklatan, dan indah sungguh menggoda, dalam stoking dan sepatu hak tinggi. Dan belahan dada yang tampil di leher bajunya menantang seSovip laki-laki. Segala bagian penampilannya seolah mengumumkan, “Aku seksi, setubuhi aku.”
“Kamu cakep banget,” kata si gemuk, “apa bener kamu mau gituan sama semua orang di sini?”
Sabri meraih selangkangan si gemuk, meraba-raba kemaluan di balik celana training super lebar yang si gemuk pakai, dan bilang,
“Ya. Dan kamu boleh apa saja sama saya. Semua saya mau!” Jari-jari Sabri mengelus pangkal paha si gemuk sementara dia menatap wajah si gemuk.
“Apa pernah di blowjob?” tanya Sabri.
“Enggak,” jawabnya penuh semangat, sambil melihat Sabri meloloskan tali bajunya dan memelorotkan bagian atas bajunya sehingga payudaranya yang besar dan cantik terlihat.
Sabri meremas payudaranya sendiri, memamerkan ukuran keduanya kepada si gemuk, lalu melepas gaun merahnya Dia jadi nyaris telanjang, hanya mengenakan celana dalam, stoking, dan sepatu hak tinggi. Lalu dia tanya si gemuk,
“Mau ga aku isep?”
Si gemuk hanya mengangguk sambil bergumam,
“Gile, cakep banget…” Orang-orang lain di ruangan itu juga ikut berbisik-bisik dan menceletuk, dan semua mata mereka tertuju ke tubuh indah Sabri. Sabri berlutut di depan si gemuk. Dia menarik turun celana training lebar yang dipakai si gemuk. Dia memandang ke atas, matanya sungguh seksi menggoda laki-laki kelebihan berat badan itu. Sementara itu si gemuk sedang membuka kaosnya. Sabri melihat perut si gemuk yang berlemak dan berambut menggelambir tepat di depan mukanya. Dia kemudian memelorotkan celana dalam. Bau tak enak dari tubuh si gemuk tercium makin tajam. Makin ketahuanlah bahwa mandi bukan aktivitas yang sering dilakukan si gemuk. Perempuan lain pasti akan berhenti dan pergi karena jijik disuruh melayani manusia gemuk bau seperti dia. Tapi Sabri bertahan, karena dia memang profesional.
Janda Merasakan Kont*l 28 cm - Dia tahu dia harus membantu orang yang memakai jasanya, Majed, memenangkan tender, dan dia sudah dibayar untuk menghadapi semua risiko. Lagipula, di negara asalnya, di mana Sabri mulai menjual diri di jalan, banyak juga manusia-manusia buruk rupa yang pernah dia layani. Yang satu ini memang tak ketulungan jeleknya, tapi belum termasuk yang paling buruk dalam pengalaman Sabri. Sabri memang naik kelas setelah merantau ke negara ini dan lebih sering mendapat klien yang rapi, tapi dia tidak melupakan apa yang dia pelajari dulu “Sebagai pelacur, harus mau melayani laki-laki apa saja, tidak ada kata tidak suka.” Sabri mulai memain-mainkan batang kejantanan si gemuk yang kelihatan menegang. Perut si gemuk membuat ukuran penisnya tak kelihatan jelas. Sepertinya tidak besar. Dan baunya jelas menjijikkan. Tapi Sabri tak gentar, dan pelacur Latino itu pun membenamkan mukanya ke selangkangan si gemuk, memasukkan penis kotor itu ke dalam mulut.Gairah sex
“Mmmmm. Mmmm! I love it,” desah Sabri palsu.
Beberapa orang lain dari kawanan buruk rupa mendekat. Mungkin mereka semua tak percaya perempuan cantik impor ini menikmati kontol dekil si gemuk. Selagi mereka menonton, Sabri mengangkat batang si gemuk untuk meraih buah pelir. Kantong biji si gemuk yang cukup besar menggelantung dan menyebar bau tak sedap. Sabri berbalik badan, lalu berposisi duduk di bawah selangkangan si gemuk dan mengemut kedua bijinya sekaligus. Terlihat lidahnya beraksi mengusap-usap barang jorok itu. Kemudian setelah beberapa saat, dia lepas keduanya dari mulutnya. Servis Sabri benar-benar tanpa rasa jijik. Kuluman biji tadi dilanjutkan jilatan-jilatan di belakang pangkal kantong pelir, menuju pantat. Dia goda si gemuk dengan menjilat sepanjang bagian luar belahan pantatnya. Sesudahnya Sabri bertanya,
“You like?”
Sabri langsung meraih batang si gemuk dan mulai memasturbasikannya. Si gemuk tak tahan dan dia berteriak, “Anjrit… ngentot… Ga tahan!”
Beberapa detik kemudian si gemuk memuncratkan isi bijinya ke lantai, dibantu cekikan dan kocokan Sabri terhadap burungnya. Sabri agak lega, dia berhasil membuat si gemuk cepat keluar, jadi dia tidak perlu lama-lama menggarap kemaluan si gemuk yang menjijikkan itu, apalagi kalau si gemuk menyetubuhinya dengan posisi perut yang besar itu menindih tubuh Sabri… Tapi dia tahu tugasnya belum selesai.
“Siapa lagi?” ajaknya.
*****
Nah, sebenarnya pada waktu yang hampir bersamaan, orang-orang lain dalam kawanan buruk rupa tidak hanya menonton apalagi membiarkan dua perempuan lain yang ada di sana, Sovi dan Shena, tak terjamah. Mereka jelas tak mau melewatkan kesempatan, kapan lagi mereka akan bisa menikmati perempuan-perempuan cantik yang normalnya cuma mereka bisa dapat dalam mimpi? Mereka berasal dari mana-mana, ada yang diambil dari panti sosial, ada yang dipinjam dari tahanan polisi, ada beberapa preman dan anggota geng, dan ada pula anak buah Pak Walikota sendiri yang berkedudukan rendah.
Sejak pertama kali kawanan orang jelek itu muncul, Shena sudah deg-degan. Berbeda dengan Sabri yang mulai dari bawah, Shena selalu menjadi pelacur kelas tinggi. Toh awalnya juga dia mulai sebagai model di agen Ahonk Sunargo, dan yang membuat dia mau membuka baju dan menjual kehormatannya adalah iming-iming uang banyak dan kehidupan glamor. Tarif kencan dengan Shena cukup tinggi, mungkin senilai gaji sebulan seorang eksekutif tingkat menengah. Wajar saja mengingat wajahnya memang cantik, predikatnya sebagai model, dan garis keturunannya yang membuat dia lebih dicari oleh klien kalangan berpunya. Daripada seks-nya, dia lebih menikmati uang yang dia dapat dan dia juga biasa pilih-pilih klien.
Waktu Ahonk memberitahunya untuk meladeni Pak Walikota, Shena menyangka dia sekadar akan melayani satu orang, yang kaya, berkuasa, dan tidak jelek-jelek amat. Apapun hasilnya, dia akan dibayar, tapi kalau tender berhasil dimenangkan, Ahonk berjanji akan menambah bayarannya. Jelas dia tidak menduga Pak Walikota rupanya berencana membuat acara seperti ini, pesta seks dengan tiga perempuan cantik dan belasan laki-laki jelek. Shena tak dapat memendam ekspresi berang campur gamang ketika tadi barisan manusia tak sedap dilihat itu datang. Dia terbiasa dengan para klien muda maupun tua yang memperlakukannya ibarat diva dan membayarnya berjuta-juta. Sementara orang-orang itu? Ih! Shena selalu menganggap dirinya anggota kelas atas dan memandang rendah mereka. Tapi kali ini dia kena batunya. Dia memandangi orang-orang itu dengan benci.
Ketika Pak Walikota berkata “Silakan, teman-teman” tadi, Shena terpaku, tak tahu harus berbuat apa.
Begitu si gemuk maju dan berinisiatif mendekati Sabri, Shena sadar bahwa dia pun harus melakukan hal yang sama supaya bisa bersaing, tapi… apa dia rela membiarkan dirinya merendahkan diri seperti Sabri yang mau-maunya melayani si gemuk yang jorok itu?
Persetan dengan tendernya Koh Ahonk! Apalagi, di antara kerumunan, beberapa orang, di antaranya si muka bopeng, kelihatan mendekati dirinya.
“Wah, yang ini amoy, mirip anaknya bos gue, boleh dong!” seru si muka bopeng.
“Tapi tampangnya senga’ gitu yah,” celetuk temannya yang di mukanya ada codet atau bekas luka, memanjang dari dahi melintas mata sampai ke pangkal hidung.
“Amoy songong nih. Kayak yang nolak gue waktu itu.”
Mereka melihat ekspresi Shena yang tak menutupi ketidaksukaannya, dan malah nafsu mereka makin terpancing. Si bopeng memang selama ini menahan mupeng terhadap anak bosnya yang mirip Shena, sementara si codet pernah ditolak cintanya oleh seorang gadis keturunan dan dia masih dendam. Jadilah kedua pemuda dengan muka tak sempurna itu maju ke arah Shena dengan mata lapar, penuh dendam dan birahi, siap melampiaskan hasrat terpendam mereka. Ketika tangan si bopeng terjulur, Shena tak tahan lagi.
Dia berbalik dan berjalan pergi, menuju pintu kamar hotel. Dia mau pergi saja. Dia tak peduli dengan tugasnya, dia ogah melayani orang-orang rendahan, titik! Dia sudah membayangkan akan marah kepada Ahonk Sunargo yang mengumpankannya kepada mereka. Si bopeng dan si codet tidak membiarkan incaran mereka pergi, jadi mereka mengikuti Shena yang mempercepat langkah, dan akhirnya berlari, menuju pintu keluar. Tapi di depan pintu ada pengawal Pak Walikota yang menghalangi.
“Minggir Pak. Saya mau keluar!” teriak Shena.
Tapi si pengawal melihat Pak Walikota menggelengkan kepala, jadi dia tidak bergeser.
“MINGGIR!” Kembali Shena berteriak, wajahnya amat kesal. Sesaat kemudian teriakannya berubah.
“JANGAN! LEPASIN!”
Si bopeng dan si codet sudah sampai di sana, diikuti beberapa orang lain, dan mereka pun segera memegangi Shena. Shena shock merasakan tangan kasar mereka mencengkeram lengannya, pinggangnya, dan juga ada yang mencengkeram pantatnya. Makanya dia berteriak dan meronta, tapi apa daya, usahanya melepaskan diri malah membuat si codet dan si bopeng dan teman-temannya makin bernafsu.
“Lepas…in!! Ihh!! Pergi!! Jangan!!” Shena berteriak-teriak selagi si bopeng, si codet, dan teman-temannya merubung.
Si bopeng sudah merangkul dan mengusap-usap lengan Shena. Si codet berbisik,
“Non, kenapa teriak-teriak? Ga suka ya sama kita-kita? Kita ga level ya Non? Gitu?”
Nafasnya yang bau membuat Shena bergidik. Pengawal Pak Walikota diam saja seperti patung. Tak sedikit pun dia terpikir untuk menolong Shena, karena memang bukan urusannya. Malah diam-diam dia menikmati pemandangan itu. Orang-orang kasar bin seram yang didatangkan Pak Walikota itu merubung seorang perempuan berkulit kuning yang amat cantik. Rambut hitam Shena yang dikepang dielus-elus tangan-tangan mereka. Sekujur tubuhnya yang berbusana cheongsam coklat juga digerayangi. Bahkan mulai ada yang kurang ajar merogoh ke balik baju dan menyentuh tubuhnya langsung. Mata sipitnya berkaca-kaca, karena ketakutan dengan orang-orang yang merubungnya.
Si bopeng kemudian menyentuh dagu Shena dan memaksanya menengok sehingga wajah mereka berhadapan.
“Mmmhh!!” Melihat sorot mata Shena yang jijik, si bopeng gemas. Dilumatlah bibir tipis Shena dengan paksa, sementara gadis oriental itu tak rela. Dia ingin kabur, tapi dia tak kuat menghalau semua orang yang merubungnya. Shena makin kaget ketika tangan kasar si codet, yang menyelinap dari bawah cheongsam, menyentuh bagian depan celana dalamnya. Akibatnya si bopeng berhasil membuka paksa mulut Shena dan menjulurkan lidahnya yang menjijikkan ke dalam sana. Shena terus berusaha, dia mau menahan tangan si codet, tapi malah tangannya dipegangi oleh orang-orang lain sehingga si codet bebas mengelus-elus kewanitaannya yang masih tertutup celana dalam. Satu lagi orang yang memeganginya berjongkok memeluk pahanya.
Kalau Sabri tadi mengenakan stoking, paha Shena tak terbungkus apa-apa, sehingga paha mulus itu pun langsung merasakan hangat dan basah lidah orang itu yang mulai menjilatinya. Kelompok pengeroyok Shena, lima orang yang terdiri atas si bopeng, si codet, dan tiga rekan keduanya, begitu antusias dan terbakar birahi oleh sasaran mereka yang mulai tak berdaya itu. Mereka menginginkan dia, yang normalnya tak bakal mereka bisa jangkau, dan mereka tak peduli Shena bersedia atau tidak. Mereka tarik Shena kembali ke ruang tengah, ke tengah “arena” di depan Pak Walikota yang terus duduk menyaksikan. Pada saat yang sama Sabri sedang menyepong dua orang sekaligus.
“Buka dong bajunya Non,” kata si bopeng dengan nada memaksa.
Teman-temannya tertawa, sepakat. Shena tak berdaya menolak, dengan enggan dia menggerakkan tangan ke barisan kancing cheongsam yang melintang dari leher ke samping dada, dan dia membukanya satu demi satu dalam keadaan dipegangi dan diraba-raba para pengeroyoknya. Rambutnya yang dikepang sudah mulai terlepas dari tataan, sementara jepit rambutnya yang berbentuk anggrek terjatuh ketika dia diseret dari depan pintu.
BRETTT!
“AIIIHHH!!” Terdengar jerit panik Shena menimpali bunyi kain dirobek. Saking tak sabaran, si bopeng dan si codet memutuskan untuk mempercepat proses penelanjangan Shena dan cheongsam sutra itu pun mereka tarik sehingga robek sepanjang jahitan sisinya. Tubuh mulus Shena pun tersaji di atas lembar kain sutra yang tadinya cheongsam, masih terlindung di balik bra dan celana dalam hitam berenda, tapi kedua potong pakaian dalam itu pun segera disingkirkan oleh orang-orang yang merubungnya. Setelah Shena telanjang, dan tubuh mudanya yang indah terbuka bagi tatapan cabul para pengeroyoknya, mereka pun menerkamnya. Tangan-tangan kapalan mereka dengan kasar menjelajahi tubuh Shena. Meremas dan membelai payudara Shena yang kecil, kencang, dan mencuat ke atas, membelai pahanya yang tak kalah mulus dengan sutra. Mendengus penuh nafsu, tak sabar menunggu. Mereka persiapkan incaran mereka itu untuk dinikmati. Meski masih meronta-ronta, Shena tak berdaya ketika orang-orang itu membaringkannya di atas karpet dan menahannya.
“Aunghhh! Lepppassinnn!!” Shena meringis dan menjerit tak rela saat orang-orang itu merentangkan kedua pahanya.
Ini sudah sangat di luar rencana! Gundukan kemaluannya yang berambut ikal halus pun terpapar jelas. Shena menahan nafas selagi merasa bibir luar vaginanya merekah, menunjukkan celah dalamya yang sempit dan menjanjikan sensasi kenikmatan kepada para pengeroyoknya. Kemaluan yang karcis masuknya berharga jutaan. Tak terpikir sama sekali oleh Shena bahwa dia akan dipaksa mengobral memeknya untuk orang-orang kelas rendah. Sabri lebih beruntung karena masih pegang kendali. Sementara Shena sudah seperti akan diperkosa saja oleh orang-orang yang merubungnya. Lalu Shena melihat si bopeng berlutut di depan selangkangannya yang sudah dibentangkan, dengan celana sudah dilepas. Dia menatap ngeri melihat organ laki-laki si bopeng.
Anunya cukup panjang dan gemuk, dibanding kebanyakan klien yang pernah dilayani Shena. Batangnya berurat dan kepalanya besar. Lubang kencingnya sudah mengeluarkan sedikit lendir. Si bopeng tak buang-buang waktu dan beringsut maju; di dalam kepalanya, dia membayangkan akan menyetubuhi anak bosnya. Dia mendorong kepala burungnya ke bukaan kewanitaan Shena yang mencuat ke atas, memaksa masuk. Bibir vagina Shena yang rapat pelan-pelan merekah dan tiba-tiba kepala burung yang besar itu bisa masuk ke dalam.
“AAAHHH!”
“Aughhh…”
Si bopeng dan Shena mengerang bersamaan, yang satu merasakan sempitnya kemaluan Shena yang berharga tinggi, yang satu lagi diterobos kemaluan orang kere tapi gede.
“Gimana bro rasanya?” tanya si codet melihat wajah si bopeng yang mupeng keenakan.
Si bopeng tidak menjawab, dia masukkan senjatanya makin dalam, menerobos vagina Shena yang sempit. Shena menjerit dan memberontak, mencoba lepas dari tangan-tangan bejat yang mencengkeramnya. Tapi dia tidak berdaya melawan kekuatan mereka.
“Ssh… uh… ugh…” Si bopeng mendesis keenakan.
Dinding dalam kewanitaan Shena sungguh rapat dan lembut, membelai kejantanannya. Si bopeng menggenjot kencang, menusuk dalam-dalam sampai mentok. Kenikmatan menjalar di bagian bawah tubuhnya. Dia merasakan tubuh amoy ramping itu tersentak-sentak di bawah dirinya, mendengar bibir tipis Shena terengah dan mengeluarkan bunyi-bunyian tak jelas. Kawan-kawannya terus mencengkeram bagian-bagian tubuh Shena, membelai betis dan paha, merasakan otot-otot gadis itu berkedut dan bergerak selagi Shena masih berusaha membebaskan diri, supaya bisa lolos dari penetrasi tak dikehendaki.
Penis besar si bopeng sudah merojok masuk dalam-dalam. Rasa ngeri dan muak melanda sekujur tubuh Shena saat si bopeng menggerakkan pinggul, menggesek-gesekkan kepala burungnya menyodok rahim, menusuk-nusuk dengan sentakan pantatnya. Gadis manis itu tak diberi pilihan, dia hanya bisa menerima pelecehan menjijikkan terhadap tubuhnya yang dia jadikan barang mahal. Si bopeng terus mengentot Shena. Keluar, masuk, naik, turun, menyodok sampai sedalam-dalamnya vagina si pelacur kelas tinggi.
Dia terlalu semangat gara-gara berkesempatan mewujudkan mimpinya menyetubuhi perempuan berBolangsik mirip anak bosnya, akibatnya dia tak tahan lama. Mana bisa dia tahan lama dalam sesak dan halusnya kemaluan yang tadinya khusus bagi orang-orang yang kuat membayar itu? Kejantanan si bopeng muntah dengan dahsyatnya, berkedut-kedut di dalam, menyemburkan mani panas kental. Shena sendiri tak mengira akan secepat itu si bopeng keluar, apalagi si bopeng tak memakai kondom, sehingga dia pun menjerit ngeri dan jijik saat merasakan semburan benih dari seorang laki-laki kurang berkualitas membanjiri dan mencemari rahimnya. Semburannya tak berhenti-berhenti, memang si bopeng jarang sekali berkesempatan bersetubuh sehingga maninya lebih sering menumpuk di dalam. Senjatanya menyentak dan menyentak, Sovip sentakan melepas semburan peju. Shena menendang-nendang dan menggeliat, menjerit karena dipermalukan seperti itu.
“Ahh… Nggaakk!! Jangan!!… Ah! AH!”
Akhirnya selesai juga ejakulasi si bopeng, dan dia menarik organ laki-lakinya yang berlumur peju dari dalam tubuh Shena yang dinodainya. Shena gemetar sekujur tubuhnya, reaksi atas pengalaman hubungan seks tanpa rela. Tidak terbayang oleh dia bahwa dalam kariernya menjual kemolekan tubuh, dia akan melayani orang bertampang jelek dan berkantong bokek. Bukan orang-orang yang berpunya dan memuja kecantikannya. Tetapi pemaksaan oleh sekelompok manusia yang di pandangannya hanya sederajat di atas binatang, yang dia anggap tidak berhak menikmati dirinya. Shena menengok dan melihat Pak Walikota tersenyum sinis. Tapi dia tak diberi kesempatan beristirahat, orang berikutnya sudah bersiap-siap menggilirnya.
Sesudah Sabri mulai melayani si gemuk dan Shena ditangkap si bopeng dan si codet, kawanan orang jelek terbagi tiga. Sebagian mendekat ke Sabri, sebagian lagi ikut merubung Shena. Sisanya memilih Sovi. Sovi memandangi mereka. Jelas tidak lebih ganteng daripada yang lain. Dia tersenyum manis kepada mereka semua.
“Selamat siang, bapak-bapak,” sapanya sopan.
“Saya butuh kerja sama kalian…” katanya sambil berjalan ke tengah-tengah mereka, menguasai keadaan. Walau dia masih berpakaian lengkap, aura keseksian yang dipancarkannya tak kalah dengan Sabri dan Shena.
“Ayo… jangan malu-malu,” rayunya.
Dia berkata itu sambil menggerakkan tangannya, meraba tubuh para laki-laki yang mengelilinginya. Dia memandangi mereka semua dengan mata seolah meminta.
“Tolongin yah…” bujuknya,
“Saya butuh kontol kalian…”
Meski kalah pengalaman dari Sabri dan Shena, Sovi jelas mendalami perannya, berkat semua perubahan yang dilakukan Citra dan Mang Enjup. Mereka yang merubungnya seolah tak percaya, perempuan muda di hadapan mereka itu berkata sendiri menginginkan kejantanan mereka. Padahal penampilannya begitu anggun. Rambutnya di ikat sehingga memperlihatkan lehernya yang mulus. Dadanya sedikit membusung di balik atasan kebaya. Pinggulnya yang aduhai terbungkus ketat kain batik. Make-upnya makin menonjolkan kecantikan wajahnya, dengan eyeshadow gelap, alis terlukis, dan blush on.
Orang-orang yang merubungnya sudah sangat terangsang, tapi pembawaan Sovi yang elegan membuat mereka segan. Biarpun mereka bisa, mereka tak bersikap seolah bisa menyuruh Sovi berbuat apa saja, seperti pada Sabri, ataupun memaksa, seperti pada Shena. Sovi melihat keraguan mereka, mata mereka seolah bertanya Boleh nggak sih? tapi tonjolan-tonjolan di selangkangan mereka mulai muncul tanda nafsu tak terbendung. Sovi tak langsung mengumbar diri seperti Sabri maupun menunjukkan ketidaksukaan seperti Shena. Dia tertawa kecil melihat orang-orang itu betul-betul kebingungan. Mereka segan padanya, biarpun mereka mengagumi. Mereka seolah rakyat jelata yang menyaksikan bidadari kahyangan, tertegun dan tak tahu boleh berbuat apa. Sambil tersenyum, Sovi melepas satu per satu kancing kebayanya. Setelah terbuka semua, Sovi pun menggerakkan lengan dan pundaknya, membiarkan kebayanya meluncur ke lantai. Tanpa menunggu reaksi lain-lain, Sovi kemudian melepas kain bawahannya, dan sedetik kemudian kain batik sudah merosot melingkungi kedua kakinya yang masih bersepatu hak tinggi. Tubuh bahenol Sovi pun tampak, hanya tertutup bra dan celana dalam. Orang-orang di sekeliling Sovi kagum akan berubahnya pemandangan indah di depan mereka. Sovi yang anggun berkebaya berubah menjadi Sovi yang seksi berlingerie, dengan beha demi-cup putih yang hanya menutup separo dari masing-masing payudaranya, juga celana dalam tipis transparan yang juga putih, dengan desain yang memikat birahi.
Sovi berputar, melihat reaksi orang-orang yang mengelilinginya. Sekalian dia memilih, siapa yang akan dia layani. Di antara mereka, Sovi memilih yang bertubuh paling jangkung. Seorang pemuda kurus berkacamata bertampang culun dan wajahnya ada kemiripan dengan Pak Walikota. Sovi tersenyum ke arah si culun, meraih tangannya, dan berjalan menarik si culun ke arah sofa. Sovi berdiri di depan di sofa dan si culun ada di depannya. Si culun ini kurang memahami asmara langsung dengan wanita, tapi kalau teorinya saja dia sudah fasih karena sering nonton video dewasa. Sovi berinisiatif dulu dengan merangkul pinggang si culun. Ditatapnya wajah pemuda jangkung itu lalu ditariknya… dan kemudian bibirnya mendarat di bibir si culun. Si culun membalas dengan kaku; mungkin dia jarang atau belum pernah ciuman. Tapi dia segera hanyut saling memagut dengan Sovi. Sovi yang mulai ahli melakukan french kiss mengajari si culun. Lidah Sovi menerobos menelusuri rongga mulut si culun.Gairah sex
“Mmmnh…” Sovi mendesah ketika si culun membalas ciumannya.
Si culun mulai berani menyentuh Sovi, dan Sovi membimbing tangannya menelusuri leher dan dada. Tanpa sungkan, Sovi membiarkan jemari si culun mempelajari bentuk tubuh wanita. Si culun menggenggam gumpalan payudara Sovi yang sebagian masih tertutup bra. Payudara Sovi lebih kecil daripada milik Sabri yang montok, dan lebih besar daripada milik Shena. Si culun lalu menyelipkan tangannya ke balik bra dan mengeluarkan payudara kiri Sovi dari bra. Sovi terpejam merasakan betapa kaku gerak-gerik tangan si culun.
“Mmm…” gumam Sovi ketika merasakan remasan jemari si culun menikmati kenyalnya payudara.
“Aah… enak… terusin ya?”
Tubuh Sovi tak berbohong, Sovip sentuhan si culun memang memicu sensasi keasyikan. Berbeda dengan kedua perempuan lainnya yang profesional, sejatinya Sovi bukanlah seorang wanita penghibur yang membiarkan tubuhnya dijamah sembarang lelaki. Tapi apa yang dirasakannya sekarang murni dari kepribadiannya sendiri yang telah berubah. Kini dia hanya memikirkan kenikmatan badan, dari semua jenis laki-laki. Sovi tak lagi hanya menjaga diri untuk suaminya. Dan dia sungguh terangsang melihat tatap mata orang-orang itu, yang seolah memujanya.bSovi kembali mengecup si culun, tersenyum, lalu menghentikan tangan si culun. Pemuda itu menatap seolah tak rela.
“Kamu suka?” tanya Sovi manja.
Godaan ditambah dengan dibukanya kaitan bra. Kedua buah dada Sovi yang molek mencelat keluar, mengundang jamahan. Sovi lalu menunduk, melepas celana dalamnya,dan tanggallah penutup kemaluannya itu. Sovi bergerak mundur dan duduk dengan paha sedikit terentang di sofa. Jarinya bergerak memanggil si culun untuk mendekat. Si culun sekejap saja langsung maju dan mengikuti isyarat Sovi, dia berlutut di antara kedua paha Sovi. Dia mau mencoba mempraktekkan apa yang selama ini hanya dilihatnya sambil ngiler dalam film saru. Dia genggam kedua pergelangan kaki Sovi dan dia angkat keduanya sehingga Sovi jadi mengangkang di sofa. Lalu dia mulai menciumi paha mulus nan kenyal Sovi, dari dekat lutut menuju pangkal. Dibelainya lembut paha dan pantat Sovi.
“Mbak cakep banget,” bisiknya.
“Kenapa malu-malu? Jilatin itu… dong?” Sovi memberi saran sambil menunjuk vaginanya.
Si culun segera merespon. Sovi langsung bisa merasakan lidah si culun menjilati celah vaginanya. Lembut sekali cara si culun melakukannya. Namun Sovi menginginkan lebih. Jilatan si culun naik, turun, mencecap khasnya rasa cairan kewanitaan. Sovi cepat menyadari bahwa ternyata si culun tak berpengalaman dan perlu diajari agar bisa lebih berani dan memperlakukannya seperti yang dia mau. Aku mau dia memperlakukanku seperti pelacur betulan.
“Kalau mau… mainin pantatku juga, ya? Boleh kok.” Sovi mencoba mengarahkan perhatian si culun ke pantatnya.
Si culun tadi meremas dan menciumi pantat Sovi, jadi Sovi pikir si culun mungkin suka.
“Colok pake jari kamu…” usul Sovi.
Si culun mundur dari vagina Sovi dan mulai mengelus-elus pantat Sovi dengan kedua tangan. Lalu dia dengan hati-hati melebarkan keduanya, sehingga lubang dubur Sovi terlihat.
“Emm… Beneran boleh… dicolok, Mbak?” tanya si culun.
“Iya, silakan…” jawab Sovi, lalu menyuruh, “Colokin.”
Si culun menempatkan jari tengah kirinya yang sudah dibasahi liur di lubang dubur Sovi, lalu mendorongnya ke dalam. Sovi sudah rileks dan bersiap ditembus sehingga jari si culun bisa masuk.
“Eunghh,” keluh Sovi dengan nada seksi karena merasakan sensasi ganjil jari dalam dubur. “Umh enak.”
Lalu dia geser dan geliat-geliatkan pinggulnya sehingga jari si culun masuk makin dalam. Saat itulah si culun menyadari Sovi suka dibegitukan.
“Enak kah Mbak?” si culun bertanya.
“Oh… iyah,” seru Sovi.
Dia kemudian mendorong jarinya lebih dalam lalu menariknya sedikit. Ketika dia mengulangi itu terus, makin lama makin kencang, Sovi mengerang makin keras. Jari si culun sedang menyetubuhi dubur Sovi.
“Terusss… ah terus,” seru Sovi. “Tamparin pantatku juga…”
Si culun ragu-ragu, lalu menepak lembut pantat kiri Sovi.
“Yang kencang!” kata Sovi. “Ayo tampar!!”
Akhirnya, PLAKK!! Si culun memberanikan diri dan mengemplang pantat Sovi cukup keras.
“Segitu?” tanya si culun.
“Ya… ayo lagi!” perintah Sovi.
Dia berulangkali menampar pantat Sovi dengan satu tangan, sementara jari tangan satunya tetap dalam lubang dubur Sovi. Sovi terangsang ketika merasakan sensasi perih nikmat seperti itu. Sovi memperhatikan gembungan di selangkangan si culun. Si culun jelas terangsang juga.
“Ayo,” ajak Sovi. “Entot aku yah?”
Si culun cepat-cepat menarik jarinya keluar. Sovi turun dari sofa ke karpet, dan merentangkan pahanya untuk si culun.
“Ohh… aku pengen nih… masukin ya? Ayo dongg…”
“Ah… Mbak, saya, saya…” kata si culun ragu, “Belum pernah…”
Sovi meraih ke atas dan menarik wajah si culun untuk dicium. “Kalau gitu biar aku ajarin…”
Dibimbingnya si culun untuk berposisi di atas tubuhnya, sambil digenggamnya kemaluan si culun yang masih perjaka itu. Si culun gemetar ketika merasakan Sovi menggesek-gesekkan kepala kemaluannya ke belahan vagina.
“Sini… udah ada di sana, kamu dorong pelan-pelan ya?” kata Sovi sambil menatap si culun dengan mata berbinar. “Yahh… uahh gede-nya…” kata Sovi, menyenangkan ego laki-laki si culun, selagi si culun mulai merasakan surga dunia di selangkangan wanita untuk pertama kali.
“Ayo… semuanya dimasukin… oohhh!” Masuk semua-lah penis si culun ke vagina Sovi.
Kenikmatan Sovida tara dirasakannya. Erangan Sovi menambah panas suasana.
“Ayohh… Kamu gerak…”
Pinggul si culun maju-mundur, kemaluannya menusuk-nusuk vagina Sovi. Sovi merangkul leher si culun, lalu menaikkan kepalanya menjilati puting si culun. Payudara Sovi bergoyang-goyang akibat gempuran si culun. Suara-suara penuh birahi mulai terlontar. Sepatu hak tinggi yang masih terpasang di kedua kaki Sovi terayun-ayun. Si culun terengah-engah. Si culun terus menyetubuhi Sovi selama beberapa menit, meremas payudara Sovi keras-keras dan menarik puting. Pemuda jangkung culun itu tak percaya dia sedang meniduri perempuan pertamanya, seseorang yang begitu cantik tapi mau menerima dirinya. Segala kegagalan dan penolakan yang selama ini dirasakannya pun terlupa.
“Ah… Mbak… Mbak cantik banget… Ugh… Seksi…” komentarnya.
“Entot aku… ahh… ah…” desah Sovi.
Sovi senang si culun tak malu-malu lagi. Si culun berada di atas tubuh Sovi, kemaluannya menyeruduk vagina Sovi. Pada saat yang sama dia memegang wajah Sovi dengan kedua tangan dan menciumi Sovi, lidahnya kembali menjelajah bagian dalam mulut Sovi. Bisa terdengar dia mendengus dengan seSovip dorongan ke dalam lubang kenikmatan Sovi. Sovi mulai berseru,
“YAHH! Entot… akuhh! Terus! Kontol kamu enak banget! Uh!”
Lalu Sovi meminta si culun mencabut batangnya. Begitu keluar, Sovi langsung menyambar kemaluan si culun yang tegang dan mengocoknya. Sovi menatap si culun.
“Pernah dibegini’in ama cewek?” Saking senangnya, si culun tak bisa menjawab, hanya mengerang keenakan.
“Apa kamu pernah ngentot?” tanya Sovi yang menyadari betapa girang si culun.
Si culun menggelengkan kepalanya. “Nggak… Ini pertama kali.”
Sovi terus mengocok kemaluan si culun, makin lama makin cepat. Batangnya terasa membesar.
“Keluarin yah…” pinta Sovi. “Aku pengen peju kamu…”
Gerak tangan Sovi makin giat
“Ayo, tunjukin kejantanan kamu… Aku pengen disembur peju kamu!”
Mungkin si culun tidak pernah ejakulasi selama berbulan-bulan. Setelah dikocokkan, hasrat badaninya meledak menyirami Sovi. Burungnya memuncratkan enam atau tujuh gumpalan kental sperma, mendarat mulai dari atas pusar Sovi, belahan dada, pangkal leher, sampai yang terakhir mengenai dagu dan bibir Sovi. Percikan yang jatuh di bibir langsung dijilat Sovi dan sambil menatap si culun, Sovi menunjukkan bahwa dia mencecap dan menelan mani si culun.
“Mmm… aku suka peju…” komentar Sovi.
Pada saat ejakulasinya selesai, sebagian besar sperma si culun bertebaran di atas tubuh Sovi, mengalir turun dari dada dan perutnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest



Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © CERITA DEWASA | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com